Jangan Berhenti Belajar


MERAKIT KEMBALI SUMBER-SUMBER SEJARAH YANG DIABAIKAN
Agustus 11, 2008, 2:59 am
Filed under: Sejarah

Budi Kurniawan dan Yani Andiransyah, Menolak Menyerah Menyingkap Tabir Keluarga Aidit. Yogyakarta:   Juni 2005

 

 

Ditinjau oleh: MZ. Arifin Anis

 

                                I

Rekonstruksi sejarah adalah  produk subyektif dari sebuah pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasan atau narativ dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu orang ke orang yang lain ( Fay, Pomper dalam Purwanto, Januari 2005). Pandangan ini, memberikan gambaran, bahwa karya sejarah tidaklah baku, karena sejarah bersifat subyektif dan sangat tergantung kepada interprestasi sejarawan  terhadap  fakta-fakta  lama atau yang baru ditemukan dan teori yang digunakannya ataupun ideologi sipenapsir. Pandangan ini juga merupakan pijakan bagi para sejarawan untuk menjawab persoalan masyarakat yang mempertanyakan gambaran masa lalu ketika terjadi perubahan sosial politik yang membahana di negri tercinta ini. Katakanlah, seperti yang terjadi pada masa ORBA, ketika ia membangun imaginer (meminjan istilah Benedict) masyarakat tentang siapa  pelaku dari peristiwa G.30 September 1965 melalui kontrol salah satu kontrolnya adalah  membangun sejarah versi pemerintah yang berfungsi sebagai pelegitimasi penguasa.      

                Kontrol sejarah seperti yang dibuat penguasa di manapun memang bukan hal yang baru. Ambil contoh. Karya-karya historiografi tradisional seperti hikayat dan babad merupakan karya dari para literati istana yang isinya secara geneologis selalu memuat,  bahwa sang penguasa ( raja) adalah turunan  atau pilihan dewa yang ditugas memimpin rakyat, bahasa lainnya adalah penguasa mikro cosmos. Sebagai penguasa mikro kosmos, maka sang raja dinarasikan sebagai manusia tanpa cela dan tentu hebatnya bukan kepalang. Sudah dapat dipastikan, siapa yang menjadi oposisinya maka  cap kualat akan disandangnya. Dapat dikatakan karya historigrafi tradisional selalu berorientasi kepada elite yang berkuasa tidak untuk orang jelata dan orang-orang yang menjadi oposisi terhadap penguasa.  Hal seperti ini berlanjut pada masa Orde Baru, dengan cara mereduksi peran Presiden Soekarno dan membesar-besarkan peran Presiden Soeharto ( Asvi, tanpa tahun). Kenapa sejarah selalu dikuasai oleh pemerintah,  sebab,  hemat Taufik Abdulah (2001) sejarah selalu menjadi wilayah perebutan hegamoni karena ada diktum tentang, siapa yang menguasai kekinian, akan mengiasau masa lalu dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan. Dalam kontek ini, hanya para sejarawan akademis yang selalu melakukan rekonstruksi sejarah tetapi umumnya hasilnya pada masa itu tidak dipublikasikan kepada umum.

 

Lantas bagaimana dengan keinginan orang banyak agar sesegara mungkin dilakukan pelurusan sejarah. Dalam kontek ini, karya sejarah yang dulunya melulu dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah, harus dibuat untuk beragam. Keberagaman karya sejarah sangat tergantung kepada data sejarah yang ada. Saya hanya sekedar mengingatkan, bahwa sejarah adalah proses berkesinambungan dan interaksi  antara sejarawan dengan fakta-fakta yang dimiliki atau yang baru ditemukannya ( Carr, 1987).

 Membincangkan fakta sejarah tentunya telah terjadi proses penentuan  pilihan data yang akan dijadikan fakta sejarah. Dalam artian ada data yang dipilih dan ada data yang diabaikan untuk dijadikan fakta sejarah dalam struktur rekonstruksi sejarah. Dalam  kontek ini, apabila kita ingin membuat sejarah yang beragam, tentunya kita harus mencari data-data sejarah yang pada masa lalu diabaikan sudah seharusnya data-data itu kita perhatikan. Sebab sejarah harus juga harus mengangkat segi-segi kehidupan tentang manusia-manusia yang disisihkan oleh rezim bahkan oleh masyarakat, sehingga hal-hal yang dianggap kelabu dapat diatur dan dipahami.

 

                                                                II

Buku yang sedang ditinjau ini adalah buah karya dari kawan Budi Kurniawan dan Yani Adriansyah. Budi Kurniawan adalah alumni FISIP UNLAM yang semasa kuliah ia menjadi penanggung jawab dan pemimpin redaksi  Tabloid INTRO FISIP UNLAM, sedangkan Yani Andriansyah dulunya adalah aktivis  mahasiswa di Fakultas Teknik Elektro Uniuversitas Kertanegara. Buku ini berisikan data-data sejarah yang diabaikan dari keluarga besar  D.N Aidit yang disisihkan   dinistakan oleh rezim ORBA atau juga mungkin oleh masyarakat  banyak, sehingga ruang untuk mereka bergerak agar dapat   merefleksikan eksistensi  kodratnya sebagai manusia yang dinamis di tanah air  ini terbelenggu.

Kawan Budi dan Yani memperoleh informasi untuk dijadikan bahan buku ini melalui korespondensi dan berbincang-bincang dengan beberapa anggota keluaraga besar Aidit. Buku ini mencakup tuturan dari derita dan harapan yang sangat humanis dari keluarga besar Aidit akan tetapi mereka menolak untuk menyerah dengan realitas yang mereka hadapi. Buku ini jumlah halamannya sebanyak 166 halaman dan kertasnya bukan dari kertas putih seperti buku-buku yang terbit dewasa ini.

Merunut pada buku ini,  terbaca kata pengantar yang ditulis oleh Ilham ( putra ke empat dari lima putra-putri dari DN Aidit) berdasarkan permintaan penulis Dari narasi dalam kata pengantar kita diinformasikan oleh kesan Ilham terhadap almarhum Jenderal Besar A.H Nasution dan istrinya Johana yang begitu jujur menceritakan tragedi nasional yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya mengubah jalan hidup keluarga besar DN Aidit.  Ilhan juga mewartakan, bahwa sejak dari SMA sampai  menggapai gelar insinyur Arsitektur dari Universitas Parahiyangan Bandung ia memperoleh bea siswa dari yayasan yang dipimpin oleh Ibu Nasution. Ilham merindukan kejujuran dari Almarhum Jenderal Besar Nasution, Ilham juga rindu terhadap ketulusan hati untuk memberikan yang terbaik kepada Ilham sebagai putra dari DN. Aidit. Ilham mempunyai asa besar terhadap bangsa ini untuk menjadi besar dengan mengedepankan sikap kejujuran, tanpa prasangka-prasangka buruk.

Isi buku ini, dimulai dengan paparan dari dukanya Ilham sejak berusia 6.5 tahun hidupnya sudah diberaikan dari orang tua dan saudara-saudara kandungnya, bahkan ia harus menyandang  predikat anak setan sebagai imbas  dari dosa turunan yang telah diintrodusir oleh ORBA. Ilham masih beruntung masih ada keluarga, kelompok dan mertua yang memiliki nurani, memberikan  pendidikan, memberikan wadah untuk mengembangkan potensi diri dan kepercayaan untuk dijadikan mantu dengan pijakan  rasa persaudaraan, kepercayaan dan kejujuran sebagaimana harusnya titah agama dan sila kedua dari Pancasila terhadap sesama manusia tanpa memandang  geneologi.. Harapan Ilham tidak terlalu muluk-muluk , ia hanya mengasakan agar tidak lagi terjadi kejahatan kemanusiaan.

Isi kedua, giliran dari Sobron Aidit  adik dari D.N Aidit yang diceritakan dengan judul,  Dalam Senyap Rindu Menyergap. Sobron seorang sastrawan , ketika ia mendengar berita tentang tewasnya sang kakak yang diyakini paling sayang kepadanya (ia menyebutnya bang Amat), ia mengajar di Institut Bahasa Asing (IBA) di Peking  (Beijing sekarang ).   Isinya menceritakan, bagaimana kakaknya (DN Aidit) yang tidak setuju ketika ia akan pergi Ke Amerika untuk menjadi cabin boy disebuah kapal milik Belanda., ia diharuska melanjutkan sekolah kepada tataran yang lebih tinggi dan mempunyai program untuk menentukan langkah ke depan, ketimbang bekerja di kapal milik Belanda yang pada masa revolusi menjadi musuh bangsa kita. Dan cerita pengalaman manis yang dilaluinya bersama  DN Aidit (ia menyebutnya Bang Amat) misalnya, ketika ia dianggap terjangkit penyakit sipilis,  mengaji dan musim panas di Bejing

Berikutnya adalah giliran dari Asahan adik dari Sobron memberikan kesan-kesan terhadap kakaknya DN. Aidit Dengan judul,  Gesek Biola dan Vietkong. Asahan dari tahun 1950 meninggalkan Jakarta untuk melakukan perjalanan akademis  di Universitas Moskow sampai meraih ghelar Master of Arts (MA) dalam bidang  filologi. Akhir 1966, ia meneruskan kembali perjalanan akademis  di Universitas Negara Hanoi, dan pada tahun 1978 ia meraih gelar Doktor dalam bidang Filologi. Ia juga menimba ilmu terntang ke militaran, bahkan sempat bergabung dengan korps di ketentaraan Vietnam. Menarik untuk dicermati pada bagian ini adalah, penuturan dari Asahan tentang pengantuk dan pemalasnya sang pengawal  DN Aidit akan tetapi sikap-sikap ini tidak membuat berang  sang kakak.

Asahan  dengan pengetahuan militernya yang diperoleh di Vietnam juga membandingkan, ketika  partai hancur, pemimpin tertinggi terbunuh, kenapa rakyat dan anggota partai tidak melawan sama sekali.?

Tentang pernyataan Presiden Soekarno, tentang pemimpin PKI telah keblinger dan terlibat G. 30 S , hemat Asahan, telah membuat Soeharto memperoleh legitimasi tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa nasional itu. Tentang kebenaran, Asahan juga tidak sependapat dengan ketua Mao, yang menyebukan, bahwa kebenaran hanya satu. Bagi Asahan, kebenaran adalah banyak, untuk itu ia tidak bangga menjadi  anggota PKI dan adik ketua PKI, tetapi ia hanya mencintai  dan menghormati Aidit sebagai figur seorang kakak.  Asahan sendiri hanya ingin menjadi dirinya, sehinga ia dipecat dari partai.

Asahan juga menilai, bahwa kakaknya (Aidit) sangat menjaga moral. Hal itu tampak, ketika Aidit mengkritik Klara Akusia ( As Darta) seorang penyair LEKRA yang sudah memiliki istri berselingkuh dengan perempun lain. Soedjojono pelukis masyur pun kena kritik dari kakanya ketika, hubungan dengan istrinya tidak necis ( harmonis). Begitu juga dengan Nyoto seorang elite PKI yang sudah beristri memacari dan mengawini seorang penterjemah dari Rusia yang dikenal juga sebagai wanita tukang pacaranpun dikritik oleh Aidit. Asahan juga tahu, bahwa kakaknya sangat gemar menulis  puisi, akan tetapi Adit tidak marah ketika karya ditolak oleh Agam Wispi , penyair unggulan dari Lekra untuk dimuat  dalam Harian Rakyat. Bahkan  Agam menilai, puisi karya dari Adit sebagai karya seorang pemula dan sangat jelek.

 

Berikutnya tentang Murad Aidit (seorang anggota veteran NPV 635/II ) dengan judul, Hari-Hari Panjang Bersama Derita Penjara. Murad adalah sarjana ekonomi lulusan Lumumba University Moskow.  Ketika, Murad tinggal di Gondangdia lama, ia pernah sekamar dengan sastrawan besar angkatan 45, yakni Khairil Anwar. Murad mempunyai kesan khusus terhadap Khairil Anwar penyair kontroversial ini. Murad  yang hidupnya sangat sederhana dan punya penyakit yang sangat sukar disembuhkan pernah  membuat surat kepada  B.J Habibi,  Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri ketika mereka menjabat menjadi presiden tentang peninjuan kembali tentang peristiwa itu, agar masyarakat luas dapat mengetahui bagaimana  persoalan itu yang sesungguhnya. Dalam surat itu diwartakan, bahwa, ia atas nama keluarga tidak merasa dendam terhadap Soeharto. Dan ia meminta agar  pemerintah merabilitir nama baik DN. Aidit, yang berarti juga menjaga nama baik keluarganya. Akan tetapi surat-surat itu tidak dijawab. Akan tetapi kekecewaannya agak terhibur, ketika Mahkamah Konsitusi (MK) yang mencabut Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang sebelumnya melaran eks anggota PKI dipilih sebagai anggota legislatif.

Ada pertanyaan yang menggelitik dari Murad, pada pemilihan umum  1955, PKI menang, dan pada pemilihan yang akan datang, Aidit  memprediksi PKI akan menang kembali, lantas kenapa PKI harus memberontak ?

Murad, hanya berharap jangan dibiasakan untuk berburuk sangka sebab buruk sangka malah akan menjauhkan proses memperoleh kebenaran sesungguhnya yang memang diinginkan oleh bangsa ini.

 

Rini memperoleh giliran untuk menceritakan pengalaman sebagai keponakan DN Aidit ( anak dari Basri Aidit adik dari DN Aidit) pengalaman itu kemudian dinarasikan dengan judul, Kayu Putih dan Selembar Tikar. Kayu putih dan selembar tikar yang dijadikan judul ini sebenarnya adalah harta  yang dibawah oleh ayahnya ( Basri Aidit) selepas dari Pulau Buru ketika bertemu dengan setelah 14 tahun tidak bersua. Pasca peristiwa 1965, adalah masa yang tidak enak untuk dirasakan  oleh seorang perempuan bernama Rini yang menyandang predikat sebagai keponakannya Aidit. Hari-hari kehidupan Rini pernah dilalui dihotel perdeo. Selepas dari hotel perdeo, iapun harus mengarungi lautan kepahitan hidup, bahkan karir suaminya pun sebagai tentara dibuat sangat terkatung-katung. 

 

Budi dan Yani menutup kisah dari keluarga Aidit, dengan memuat narasi tentang  Iwan  Ignasto (putra ketiga dari DN Aidit). Iwan adalah  Insinyur dari ITB Bandung. Ketika terjadi peristiwa G.30 September usia Iwan baru  menginjak 12 tahun. Iwan mulai bertutur, begini kisahnya, ia dan dua adik kembarnya pada minggu kedua bulan Oktober 1965  dijemput dari sekolahnya dan diungsikan ke rumahnya pamannya di Bandung. Kemudian pamannya menitipkan Iwan dan dua orang adiknya ke DR. Joohanes Moeliono seorang dosen biologi di ITB dan menjabat Wakil  Direktur Lembaga Pasteurs.

Sejak saat itu, Iwan dan dua orang adiknya (Ilham dan Irvan) tinggal di rumah keluarga Moelino, dengan memanggil papih kepada DR.. Moeliono dan mammi kepada istri Moeliono (yang kebetulan adalah Orang Belanda). Keluarga Moeliono memberikan kasih sayang dan mendidik Iwan, Ilham dan Irvan sama seperti yang diberikan kepada tujuh orang anak kandungnya.

               

 Bagi Iwan tragedi 30 September sebagai suatu peristiwa yang penuh misteri sekaligus menyakitkan. Sebab, bagi Iwan Orde Baru tidak melulu menghancurkan PKI dan keluarganya, melainkan Pertindo, PNI-kiri, tokoh –tokoh Islam kiri, tokoh-tokoh Katholik  dan Kristen yang kiri, kaum militer yang berpandangan kiri juga dibungkam.

 

Buku ini ditutup oleh kawan Budi dan Yani dengan judul, Dari Paris Hingga Air Saga. Yang berisikan sajak-sajak.

 

III

                Akhirnya, setelah membaca buku ini, sudah sewajarnya kita mulai acungkan jempol kepada kawan Budi dan Yani yang telah berinisiatif untuk mengumpulkan data-data sejarah  dari mereka-mereka yang tertindas yang dulu diabaikan untuk dijadikan sebuah buku bernuansakan sejarah kehidupan (life history), sehingga kita memperoleh wacana baru dan memahami  dampaknya dari sisi humanis kehidupan keluarga dari anggota PKI .

Dalam kontek kepentingan rekontruksi sejarah, tuturan dari derita yang  pernah keluarga Aidit alami dan harapannya sangat humanis awalnya merupakan kepingan-kepingan data sejarah dapat dirakit untuk menjadi fakta sejarah yang berguna untuk merekunstruksi sejarah mikro, bukan sebuah karya sejarah yang  melulu berisikan, kemenangan, kehebatan  dari suatu rezim ataupun orang-orang besar yang seakan-akan hidupnya tidak punya cela. Sebab, penjelasan sejarah bukan melulu berisikan sanjungan, kehebatan dari kelompok penguasa, ataupun lapisan sosial tertentu, sejarah adalah penjelasan tentang manusia tanpa mengenal adanya pembatasan-pembatasan dalam  katagori sosial di masyarakat ketika mereka sedang berinteraksi sosial di masa lalu. Misalnya , sejarah orang biasa, sejarah pedagang yang kena gusur, sejarah tukang ojeg, sejarah orang tua siswa yang tidak mampu bayar SPP, Sejarah mulai tergusurnya kelotok, sejarah kehidupan istri dan anak-anak tentara yang tinggal gugur dalam tugas  atau sejarah tentang dosen-dosen yang arogan, dan lain sebagainya

Diharapkan, ketika kita membaca buku ini atau buku-buku sejarah yang penulisnya menggunakan  data-data dari sumber orang-orang yang dianiya tidak melahirkan kebencian yang akhirnya memunculkan sejenis penindasan baru dengan mengabaikan sejarah dari orang dulunya dianggap sebagai sebagai penindas ( Purwanto, Juli 2005).  Saya juga teringat pendapat dari seorang pakar sejarah, bahwa sejarah yang  manusiawi adalah sejarah yang mendekati obyektivitas. Sebab, sejarah tidak berfungsi sebagai pembentuk mitos baru atau menjadi  pengganti mitos  walaupun manusia tidak lepas dari mitos. Akhir kata, sejarah adalah pelajaran. Pelajaran yang kita peroleh adalah ketika politik menjadi panglima maka yang terjadi adalah proses pembodohan dan ketidakjujuran bahkan dehumanisasi..

Bagi kawan Budi dan Yani, yang tertarik terhadap  duka kaum ataupun invidu yang termarjinalkan untuk diangkat kedalam tulisan, tengok juga kehidupan Muhtar Lubis yang pada masa ORLA dan ORBA selalu dimarjinalkan oleh penguasa. Selamat untuk kawan Budi dan Yani. Sampaikan salam  kepada Iwan, Ilham, Irfan, Sobron , Murad yang mewakili orang-orang yang dimarjinalkan dan katakan kepadanya, bahwa kejujuran merupakan nurani yang memang menjadi sesuatu yang langka akan tetapi kita harus tetap meraihnya dan kejujuran tidak mengenal batas –batas negara. Selamat Berkarya Kawan.

 

               

                                                BIBLIOGRAPHY

 

Abdullah, Taufik., 2001. Nasionalisme dan Sejarah.  Bandung:  Satya Historika.

 

Carr, E., 1980. What is History,. Middlesex: Penguin Books.

 

 

Purwanto, Bambang,  2005, Sejarah Lisan dan Wacana Baru Historiografis.,Surabaya

 13-17 Juli; Pelatihan Metoda Sejarah. Januari 2005,. Menggugat Historiografi Indonesia Yogyakarta: Ombak.

                                                 


2 Komentar so far
Tinggalkan komentar

Salam kembali untuk pak MZ, berulang-ulang saya coba membaca dan memahami isi artikel yang Pak MZ tulis ini, izinkan saya untuk memberikan sedikit komentar terhadap cara pandang saya terhadap nukilan Pak MZ terhadap buku ini.

Pak MZ, ada suatu kesamaan pandangan saya dengan apa yang bapak ungkapkan, bahwasanya perilaku ataupun tindak-tanduk seseorang tidak ada relevansinya dengan perilaku dan tindak-tanduk seseorang ataupun komunitas sekitarnya.Artinya adalah apa yang diperbuat oleh seseorang — baikkah atau burukkah perbuatan itu — adalah sangat naif jika harus juga ditanggung oleh orang atau komunitas disekitarnya, tanpa mendalaminya dengan proses riset dan penelitian yang komprehensif tentang keterlibatan atau justifikasi dari lingkungannya terhadap dogma yang terlahir dari perbuatan itu sendiri.

Bagi saya, memandang sejarah — apapun itu bentuknya — merupakan proses multi narasi dan bukan mono narasi seperti yang terjadi di negeri ini. Pun juga bagi saya proses penarasian sejarah adalah sebuah proses yang harus melibatkan landasan kejujuran dan tanpa kepentingan apapun sebagai tujuan sebenarnya.

Jika saya telaah artikel bapak ini, sangat kental terasa nuansa humanisme yang dipaparkan dalam sebuah sajian verbal yang cukup menyentuh, bahwa sebenarnya “mereka” sama saja dengan kita, memiliki keinginan-keinginan untuk bermanja-manja terhadap negeri ini, memiliki pandangan independen tanpa diusik oleh hubungan darah dan kekerabatan, kepentingan, ataupun institusi.

Jika tujuan buku yang bapak nukil ini hanya sebatas pengungkapan aspek humanisme murni sebagai bekal yang diberikan sang penguasa makhluk kepada kita semua, saya memberikan apresiasi yang tinggi dengan adanya buku ini. Artinya jelas memperkaya khazanah pengetahuan kita dan semakin memperkuat levelisasi yang sama sebagai manusia.

Tapi sekali lagi, bahwa penarasian sebuah fakta dan logika sejarah seharusnya dilandasi dengan kejujuran dan tanpa ada beban kepentingan apapun. Beban kepentingan yang sebenarnya merupakan baju utama, tetapi kemudian dikamuflasekan dengan narasi-narasi sejarah sebagai upaya untuk menjustifikasi dan melegitimasi kepentingan tersebut.

Walau bagaimanapun pak MZ, saya pribadi memandang lembaran hitam sejarah negeri ini dengan perasaan “khawatir”, bagaimana tidak, narasi sejarah yang terus-menerus dingiangkan di telinga kita yang kemudian berakar menjadi stigma kental, bahkan sebagai narasumber yang paling utama dalam berbagai pandangan kita, ternyata memiliki muatan-muatan yang tentunya hanya untuk kepentingan sendiri, ataupun institusi dan golongan tertentu, akankah terulang lagi pengan penarasian sejarah selanjutnya ? Apakah itu penarasian sejarah yang dibangun sebagai upaya kontra-produktifnya narasi sejarah yang telah lama, atau membangun sebuah stigma, justifikasi, dan doktrinisasi baru dalam memandang sebauh kejadian di negeri ini [jundul.wordpress.com]

Komentar oleh jundul

Terus maju Mas Bud dan Yani Kumis

Komentar oleh rizky




Tinggalkan komentar